Ambon (KM) - Perempuan Maluku masih masih terkungkung sistem patriarki yang membudaya di masyarakat, terutama daerah pedesaan, kata Koordinator Umum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Baileo Maluku Yunus Jefry Ukru kepada ANTARA di Ambon, Rabu.
"Perempuan tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan di wilayahnya, meskipun itu berkaitan dengan mereka. Biasanya laki-laki yang akan selalu menjadi penentu," katanya.
Ukru megatakan, contoh kecil yang sering terjadi misalnya pembangunan fasilitas air bersih, tidak pernah ada perempuan ikut menjadi bagian dalam musyawarah penentuan areal pembagunan, padahal sarana tersebut nantinya akan lebih banyak digunakan oleh kaum wanita dalam kehidupan sehari-hari.
"Pengambil keputusan tidak memperhitungkan bagaimana jarak yang akan ditempuh oleh perempuan untuk bisa mendapatkan air bersih untuk mencuci, masak, mandi dan sebagainya," katanya.
Menurut dia, persoalan perempuan di Maluku cukup kompleks, bukan hanya tidak dilibatkan dalam musyawarah, kesejahteraan, akses untuk mendapatkan informasi dan pendidikan pun masih kecil dibandingkan laki-laki.
Secara sosial budaya posisi perempuan Maluku di daerah pedesaan masih menjadi warga kelas dua dalam lingkungannya sendiri.
Sudut pandang patriarki yang menjadi bagian dari budaya harus ditransformasi. Masyarakat harus lebih terbuka dan memberikan ruang partisipasi dan persamaan terhadap kaum wanita, khususnya dalam pemenuhan hak asasi manusia (HAM).
"Kerangka berpikir masyarakat memang harus diubah. Perempuan jangan hanya dipandang sebagai objek, aset dan pendamping, tetapi bagaimana peran mereka dalam kehidupan bermasyarakat," katanya.
Ia menyatakan, sejak terjadinya konflik horisontal di Maluku pada Januari 1999, peran perempuan di daerah tersebut sudah mulai diperhitungkan, tidak lagi menjadi pendamping, melainkan pelindung, seperti yang terjadi di Desa Muntahar, Kepulauan Kei Besar, Kabupaten Maluku Tenggara.
Kaum wanita yang ada di desa tersebut tanpa perlengkapan untuk membela diri maju menghadang penyerbuan tiba-tiba di kampungnya. Karena tidak bersenjata, kampung tersebut akhirnya ditinggalkan begitu saja.
"Pada dasarnya laki-laki di Maluku sangat mendengarkan perkataan kaum wanita terutama saudaranya, tetapi untuk level politik di tingkat desa mereka sama sekali tidak dilibatkan," katanya.
Koordinator Naturalic Jaringan Baileo Maluku Vivi Marantika menambahkan, karena berbagai persoalan perempuan terutama peran mereka yang sangat kecil itulah, sejak tahun 1993 Baileo Maluku aktif mendorong dan memastikan hak-hak kaum wanita Maluku , khususnya di daerah terjamin.
"Kami memperkuat kapasitas mereka melalui gerakan-gerakan perempuan, lokakarya dan diskusi semacamnya," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar