Selamat Datang

Di sini Anda dapat membaca berita tentang Maluku yang dibuat oleh LKBN ANTARA. Seluruh berita dilindungi UU Hak Cipta dan karenanya tidak diperkenankan untuk disiarkan kembali melalui media apapun tanpa izin tertulis dari LKBN ANTARA.

Minggu, 01 Mei 2011

BPJS Yang Kini Ditunggu Buruh

Revisi Undang-Undang nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang menjadi dasar pembentukan UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan menjadi satu agenda tuntutan dari buruh kini hanya menyisakan waktu 47 hari sebelum diundangkan.

Buruh, pekerja dan sebagian masyarakat Indonesia berharap agar revisi itu bisa dituntaskan yang memungkinkan mereka mendapatkan pelayanan kesehatan paripurna dengan biaya yang murah dan terjangkau melalui regulasi dari UU tersebut.

Menurut Ketua SPSI Kota dan Kabupaten Bekasi, R Abdullah, Minggu, sudah sepantasnyalah Pemerintah mengundang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial seluruh rakyat Indonesia yang kini prosesnya mengalami jalan buntu di DPR RI akibat perbedaan keinginan antara kedua lembaga tersebut.

Ia mengatakan, buruh akan mendesak segera diundangkannya aturan baru itu dengan melakukan serangkaian kegiatan aksi, lobi hingga gugatan ke pengadilan negeri.

Pernyataan itu disampaikan dalam rangkaian memperingati momentum Hari Solidaritas Buruh Internasional atau May Day pada 1 Mei 2011 di Bekasi. 

"Kita menilai ada blunder antara keinginan pemerintah dengan DPR-RI terkait isi dari UU dimaksud padahal rancangannya sudah dibuat jauh-jauh hari dengan berbagai pertimbangan," ujarnya.

Ketiga hal tersebut adalah bahwa pemerintah menginginkan agar UU itu hanya sebagai sebuah penetapan sementara DPR-RI selain penetapan juga berisi pengaturan, kedua pemerintah menghendaki badan penyelenggara jaminan sosial empat institusi yaitu Jamsostek, Asabri, Askes dan Taspen sementara menurut DPR-RI tidak perlu multi tapi cukup satu saja.

Persoalan lain yaitu pemerintah menginginkan bentuk dari BPJS itu adalah BUMN sementara DPR-Ri berupa badan hukum publik wali amanat.

"Ini yang belum ada titik temunya dan kita sangat mendukung keinginan DPR-RI yang merupakan aspirasi dari pekerja. Kalau BUMN nantinya keuntungan usaha juga masuk APBN dan sama saja seperti UU Jaminan sosial tenaga kerja yang berlaku sekarang sementara keinginan pekerja dikembalikan semua kepada mereka," ujarnya.

Ia menyatakan kini sisa waktu untuk mengundangkan peraturan tersebut masih tersisa 47 hari dan pekerja akan terus mendorong serta mengawal pengesahannya sesuai harapan mereka.

Pengurus SPSI se Indonesia telah melakukan langkah-langkah antisipasi bila dalam jangka waktu tersebut UU belum juga di paripurnakan.

"Kita akan gugat pemerintah, ketua DPR-RI dan menteri terkait ke PN atas pelanggaran bahwa negara tidak melaksanakan jaminan sosial bagi warganya.

Upaya lain yang dilakukan menurut Abdullah adalah melakukan aksi demonstrasi besar-besaran hingga aksi mogok massal yang akan mengakibatkan terhentinya proses produksi.

"Kita inginkan proses pengundangannya berjalan lancar hingga tidak perlu terjadi aksi-aksi," ujar pengurus radio Suara Pekerja itu.

Ia mengharapkan pemerintah bisa memahami keinginan pekerja atau buruh sebagai orang yang berperan besar dari sisi produksi namun mendapat perlakuan kurang bijaksana dari pengusaha yang terus berusaha mengumpulkan keuntungan sebesar-besarnya dengan mengeksploitasi tenaga pekerja.***3***

Wakil Ketua DPR RI Taufik Kurniawan meyakini ada jalan keluar menengahi perbedaan pandangan antara DPR dan pemerintah guna menyelesaikan Rancangan Undang-Undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Langkah tersebut penting, agar pembahasan RUU ini tidak berlarut-larut. "Jangan sampai pembahasan RUU ini melewati masa persidangan mendatang. Kalau itu terjadi, yang rugi adalah  rakyat," ujarnya.

Menurut dia, sebenarnya sudah ada sinyal kesepahaman antara DPR dan pemerintah terkait misalkan soal mekanisme pembentukan BPJS apakah itu melalui penetapan atau pengaturan.

Sinyal itu terlihat dengan adaya keinginan pemerintah yang meminta agar DPR merevisi Undang-Undang nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang menjadi dasar pembentukan UU BPJS.

Diketahui, pemerintah menilai UU BPJS bersifat penetapan karena sudah menginduk kepada UU SJSN. Sedangkan DPR menginginkan UU BPJS bersifat pengaturan, menyangkut siapa lembaga yang akan ditetapkan sebagai BPJS.

DPR meminta agar pemerintah mau merevisi Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) alam RUU BPJS. Namun, pihak pemerintah mengarapkan agar DPR terlebih dulu melakukan revisi atas UU SJSN.

Taufik mengharapkan, keduanya dapat dilaksanakan secara bersamaan agar pemerintah dan DPR mempunyai sikap yang sama.

Tidak kunjung tuntas RUU BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) membuat anggota dewan geregetan. Pemerintah dinilai lamban merespon RUU yang bisa memberi kesejahteraan bagi rakyat Indonesia tersebut.

"Kita melihat pemerintah sama sekali tak menunjukkan itikad baik untuk segera selesaikan persoalan. Ketika pembahasan dengan fraksi semuanya berkeinginan agar SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) sudah diterapkan dan itu baik buat masyarakat tidak mampu, agar ada jaminan saat sakit," ujar Wakil Ketua DPR Pramono Anung.

"Saya melihat persoalan utama adalah masih adanya tarik menarik di internal pemerintah di antara badan-badan ataupun lembaga yang ada, karena ini menyangkut dana yang ada. Sehingga, ini sungguh disesalkan dan alasan terakhir karena koordinasi 8 menteri yang belum selesai sehingga terkatung-katung dan tidak selesai," ujarnya.

Seluruh fraksi tidak hanya PDIP, menurut Pram, mengancam akan menggunakan hak interpelasi jika persoalan BPJS tidak bisa dituntaskan sesuai dengan harapan.

Fraksi PDIP dan Partai Demokrat, serta fraksi lain pun menanyakan ada apa di internal pemerintah Indonesia.

           
"Ditolak keras"

Mantan Menkes Siti Fadilah Supari menolak keras pembahasan RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Dia menilai RUU BPJS yang merupakan turunan dari UU no/40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), tidak sesuai dengan UUD 1945.

"Berdasarkan UUD 1945, pemerintah wajib memenuhi hak dasar rakyat untuk memperoleh perlindungan," ujarnya.

Siti yang merupakan salah satu anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) menilai, pemerintah seharusnya lebih mengoptimalkan jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas). Terdapat beberapa poin yang tak dia setujui dari UU SJSN. Pertama adalah masalah iuran yang harus dibayarkan oleh rakyat. Dalam sistem asuransi yang diusung oleh UU SJSN, rakyat memang diharuskan membayar sejumlah iuran per bulannya.

Selanjutnya, dia juga mempertanyakan keharusan para buruh, TNI, Polri, pekerja informal, dan PNS golongan rendah untuk membayar iuran serupa. "Tidak semua penyakit ditanggung dan tidak semua umur ditanggung," jelasnya. Akibatnya, rakyat akan kesulitan bila akan mengklaim asuransi tersebut.

Hal itu, lanjutnya, berbeda dengan Jamkesmas yang saat ini telah dilaksanakan pemerintah. Dalam Jamkesmas, semua rakyat mendapat perlindungan oleh pemerintah dengan biaya APBN. "Tak ada iuran, biaya," ungkapnya. Selain itu, dalam sistem Jamkesmas, masyarakat dapat menuntut pemerintah bila pelayanan tidak sesuai.

Dia menyebut, dalam pasal 28H ayat 1 UUD 1945, 'Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.' Selain itu, dalam ayat 3 pada pasal yang sama mengatakan, setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. "Kalau UU SJSN berlaku, maka kalau tidak membayar iuran wajib atau premi, maka tidak akan mendapatkan haknya," tukasnya.

Peneliti Senior Institute for Global Justice (IGJ), Salamuddin Daeng mengatakan, UU SJSN masih menyisakan permasalahan. Banyak pihak masih menolak UU tersebut karena tidak mencerminkan aspirasi masyarakat. Antara lain, lanjutnya, adalah pekerja formal yang berupah rendah, buruh tani, dan pekerja sektor informal.

Mengacu pada ketidaksesuaian pendapat diatas, wajarlah kiranya buruh harap-harap cemas menunggu diundangkannya BPJS, namun yang terpenting adalah apakah regulasi baru itu benar-benar sesuai harapan mereka mendapatkan pelayanan kesehatan berkualitas dengan biaya murah. (Maswandi-Lipsus-Spektrum ANTARA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar